Contoh Makalah yang Baik



METODOLOGI PEMAHAMAN HADITS
Oleh: Khanafi, S.Sos.I, M.Pd.I.

I.                    PENDAHULUAN
Hadits atau sunnah adalah sesuatu yang bagi Umat Islam sangat penting. Ia merupakan salah satu dari dasar ajaran Islam yang utama selain Al-Qur,an. Mengamalkan suatu hadits berarti mengamalkan ajaran agama, bahkan apabila seorang Muslim tidak mau menerima dan mengamalkannya dapat dikatakan sebagai orang yang “Ingkar Sunnah”. itu berarti sama saja dengan mendurhakai perintah Allah dan Rasul-Nya. Karena Alloh sendiri menyampaikan dalam Al-Qur’an bahwa” Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”.[1]
Dalam pelaksanannya, tidak semua orang Islam dapat mengamalkan hadits sesuai dengan yang dikehendaki oleh “Sang Redaktur”-nya, yaitu Nabi Muhammad SAW. Hal itu berkaitan dengan seberapa jauh pengetahuannya tentang hadits itu sendiri dan seberapa jauh pula pemahaman tentang kandungan maknanya. Maka dibutuhkan suatu teknik atau metode untuk dapat memahami hadits secara baik dan benar agar umat Islam dapat mengamalkan nilai-nilai hukum yang terkandung dalam sebuah hadits tanpa perasaan ragu-ragu dan terbebas dari kekeliruan.
Di samping itu, menurut Suryadi, ada beberapa faktor mendasar yang menyebabkan urgensitas suatu metode pendekatan dalam memahami hadits. Pertama, tidak semua kitab hadits ada syarh (penjelasannya)-nya, sehingga dibutuhkan suatu ilmu untuk dapat memahami sebuah hadits. Kedua, para ulama salaf dalam upaya memahami hadits umumnya cenderung memfokuskan data riwayah dengan penekanan sudut gramatika bahasa dan pola pikir bayani yang dapat menimbulkan kendala manakala pemikiran mereka dipahami sebagai sesuatu yang final dan dogmatis.[2] Padahal suatu pemikiran muncul dalam kerangka ruang dan waktu yang mana akan menyebabkan adanya perbedaan antara dulu dan sekarang. Maka tidak menutup kemungkinan adanya suatu interpretasi baru yang berbeda dengan zaman dulu terhadap pemahaman suatu hadits.
Dalam tulisan ini penulis akan menyampaikan tentang apa yang dimaksud dengan hadits dan bagaimana metode untuk dapat memahaminya, dengan harapan dapat memberikan wawasan kepada pembaca mengenai metode pemahaman hadits. Dengan demikian diharapkan pembaca khususnya umat Islam dapat memahami hadits Nabi SAW secara baik dan benar sehingga dapat mengamalkannya secara baik dan benar pula.

II.         PEMBAHASAN
A.     Pengertian Hadits
Pengertian hadis secara terminologi sangat beragam di kalangan para ulama. Ahl-al Hadis mendefinisikan hadits adalah segala hal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat khuluqiyah (berkaitan dengan fisik Nabi) dan kholqiyah (perilaku hidupnya) baik sebelum bi’tsah (diutus menjadi Rosul) maupun setelahnya.[3] Hadis bagi mereka mencakup kelima aspek ini, dan dalam perspektif ini menurut mereka hadits sama dengan sunnah.
Sedangkan menurut ahli Usūl Fiqh, hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Muhammad saw. baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang behubungan dengan hukum syara’. Menurut Ulama Ushul Fiqh, sunnah adalah sumber hukum setelah Al-Qur’an, yaitu segala sesuatu yang berasal dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapan/persetujuan. Asumsinya adalah bahwa apapun yang berasal dari Nabi, merupakan petunjuk atas cara Nabi dalam memahami dan mengamalkan Islam. Lain lagi menurut Ulama Fiqh, sunnah adalah persamaan istilah dengan mandhub atau mustahab, salah satu dari hukum tasyri’ yang berarti sesuatu yang dianjurkan, [4]
Di kalangan para ulama berpendapat bahwa hadis tidak hanya sesuatu yang disandarkan kepada nabi, melainkan juga berasal dari sahabat nabi, dan tabi’in. Hal ini karena dalam ilmu hadis terdapat istilah yang mengarah kepada hal itu, yakni istilah hadis marfu’ (hadis yang disandarkan kepada nabi), hadis al-mauqūf (hadis yang disandarkan kepada sahabat nabi), hadis al-maqthu’ (hadis yang disandarkan kepada al-tabi’in).[5]
Istilah lain untuk mengartikan hadis adalah atsar dan khabar. Ahli hadis menilai kedua istilah tersebut dan juga istilah hadis dan sunnah merupakan sinonim (persamaan kata).[6] Di antara ahli hadis yang lain menyatakan berbeda, sebab atsar diartikan dengan perkataan atau keputusan-keputusan yang disampaikan oleh para sahabat. Istilah lain yang paling sering digunakan untuk mewakili kata hadits adalah as-sunnah.
Dari pengertian-pengertian di atas, penulis menyimpulkan dan berpandangan bahwa sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat khuluqiyah (berkaitan dengan fisik Nabi) maupun sifat kholqiyah (perilaku hidupnya) baik sebelum bi’tsah (diutus menjadi Rosul) maupun setelahnya dan tidak mesti menyangkut nilai hokum bagi umat Islam. Hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun kehendak Nabi SAW. yang mengandung implikasi terhadap Umat Islam dari segi pelaksanaannya (hadis adalah bagian dari sunnah). Sementara khobar adalah berita atau riwayat yang dapat berasal dari Nabi dan dapat pula berasal dari sahabat atau tabi’in. Sedangkan atsar adalah suatu hal yang disandarkan pada para sahabat, seperti atsar-nya Sahabat Abubakar, Umar, Utsman, ‘Ali KW., dan lain-lain.
Secara epistemologis, hadis dipandang oleh mayoritas  umat Islam sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an. Sebab ia merupakan bayaan (penjelas), terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal (global), ‘aam (umum) dan yang muthlaq (tanpa batasan). Bahkan secara mandiri hadis dapat berfungsi sebgai penetap (muqarrir) suatu hukum yang belum ditetapkan oleh Al-Qur’an.[7]
Hadis sebagai sumber kedua, nampaknya selalu menarik untuk dikaji, baik yang menyangkut tentang kritik otentitas atau validitas (sanad dan matan) maupun metodologi pemahaman (syarh) hadis itu sendiri. Para ulama dahulu telah banyak mencoba melakukan penafsiran atau pemahaman hadis yang terdapat dalam al-Kutub al-Sittah, yakni dengan menulis kitab syarah terhadap kitab tersebut. Meskipun demikian, upaya untuk menemukan metode yang digunakan ulama dalam penyusunan kitab syarah hadis tersebut hampir-hampir tidak pernah tersentuh. Namun dari beberapa metode yang dipergunakan oleh para ulama dalam menyusun kitab syarh} tersebut dapat diklasifikasikan beberapa metode pemahaman hadis, yakni metode tahli>li>, metode ijma>li>, dan metode muqa>rin.[8]  

B.      Metodologi Pemahaman Hadis
1. Metode dan Metodologi
Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani methodos, yang berarti cara atau jalan.[9] Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan bangsa Arab menerjemahkannya dengn t}ari>qat dan manhaj. Dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti: cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.[10] Sedangkan metodologi berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan, logos artinya ilmu. Kata metodologi dalam Kamus Besar Bahasa Indosesia diartikan sebagai ilmu tentang metode; uraian tentang metode.[11]
2. Pemahaman (Syarh)[12]
Kata ”syarh” berasal dari bahasa Arab, Syaraha-Yasyrahu-Syarhan yang artinya menerangkan, menjelaskan, membukakan, melapangkan, atau menafsirkan.[13] Istilah syarh (pemahaman) biasanya digunakan untuk hadis, sedangkan tafsir untuk kajian Al-Qur’an. Dengan kata lain, secara substansial keduanya sama (sama-sama menjelaskan maksud, arti atau pesan); tetapi secara istilah, keduanya berbeda. Istilah tafsir khusus untuk Al-Qur’an (menjelaskan maksud, arti, kandungan, atau pesan ayat Al-Qur’an), sedang istilah syarh al-hadis bermakna menjelaskan maksud, arti, kandungan, atau pesan dari suatu hadis.[14]
Jadi maksud dari metodologi pemahaman (syarh) hadis  ialah ilmu tentang metode memahami hadis. Dengan demikian, kita dapat membedakan antara dua istilah, yakni metode syarh: cara-cara memahami hadis, sementara metodologi syarh: ilmu tentang cara tersebut. Metode yang digunakan oleh pensyarahan hadis ada tiga, yaitu metode tahlielie, metode ijmaalie, dan metode muqaarin. Adapun untuk melihat kitab dari sisi bentuk pensyarahan, digunakan teori bentuk syarh bi al-ma`s|ur dan syarh} bi al-ra’y. Sedangkan dalam menganalisis corak kitab digunakan teori kategorisasi bentuk syarh fiqhy, falsafy, sufy, atau lughawy.[15]

3. Metodologi Pemahaman Hadits Menurut al-Qaradhawy
Di antara para pemikir kontemporer, Al-Qaradhawi memberikan  penjelasan yang luas tentang bagaimana pemikirannya mengenai hadis yang dikembangkan menjadi metode sistematis untuk menilai otentisitas hadis. Menurut Al-Qaradhawi, sunnah nabi mempunyai 3 karakteristik, yaitu komprehensif (manhaj syumul), seimbang (manhaj mutawazzun), dan memudahkan (manhaj muyassar). Ketiga karakteristik ini akan mendatangkan pemahaman yang utuh terhadap suatu hadis.[16]
Atas dasar inilah maka Al-Qardhawi menetapkan tiga hal juga yang harus dihindari dalam berinteraksi dengan sunnah, yaitu pertama, penyimpangan kaum ekstrim, kedua, manipulasi orang-orang sesat, (Intihal al-Mubthilin), yaitu pemalsuan terhadap ajaran-ajaran Islam, dengan membuat berbagai macam bid’ah yang jelas bertentangan dengan akidah dan syari’ah, dan ketiga, penafsiran orang-orang bodoh (ta’wil al-jahilin). Oleh sebab itu, pemahaman yang tepat terhadap sunnah adalah mengambil sikap moderat (wasathiya), yaitu tidak berlebihan atau ekstrim, tidak menjadi kelompok sesat, dan tidak menjadi kelompok yang bodoh.[17]
Untuk merealisasikan metodenya, Yusuf Qardhawi menerapkan metode pemahaman hadis dengan prinsip-prinsip dasar yang harus ditempuhnya ketika berinteraksi dengan sunnah, yaitu;
1.    Meneliti kesahihan hadis sesuai dengan acuan umum yang ditetapkan oleh pakar hadis yang dapat di percaya, baik sanad maupun matan.
2.    Memahami sunnah sesuai dengan pengetahuan bahasa, konteks, asbab al-wurud teks hadis untuk menentukan makna suatu hadis yang sebenarnya.
3.    Memastikan bahwa sunnah yang dikaji tidak bertentangan dengan nash-nash yang lebih kuat.[18]
Adapun untuk melakukan prinsip-prinsip dasar itu, maka Al-Qardhawi mengemukakan 8 langkah (metodologi) dalam memahami hadis atu sunnah, yaitu;
1. Memahami Hadis Sesuai dengan Petunjuk al-Qur’an.[19]
Menurut Al-Qardhawi, untuk memahami suatu hadis dengan benar harus sesuai dengan petunjuk al-Qur’an. Karena terdapat hubungan yang signifikan antara hadis dengan al-Qur’an. Oleh karena itu tidak mungkin kandungan suatu hadis bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang muhkam, yang berisi keterangan-keterangan  yang jelas dan pasti.
Q.S. Al-An’am (6) : 115.
Sebagai contoh adalah hadits ghoroniq berikut ini: “Telah disebutkan bahwa Nabi SAW ketika di Mekkah membaca Q.S. An-Najm dan ketika sampai ayat ke 19 dan 20 (“apakah patut kamu(hai orang-orang musyrik) menganggap lata dan ‘uzza, dan manat yang ketiga yang paling terkemudian?”) setan menambahkan melalui lisan Nabi SAW. “itulah berhala-berhala (ghoroniq) yang mulia dan syafaat mereka sangat diharapkan”.
Tambahan kalimat ini didengar oleh kaum musyrik sehingga mereka kegirangan, “sungguh Muhammad sebelum ini tidak pernah menyebut tuhan-tuhan kita dengan sebutan baik.” Lalu, ketika Nabi sujud mereka pun turut sujud. Tak lama kemudian Jibril datang ,” aku tidak pernah membawa wahyu seperti itu, itu dari setan”.
Cara memahami hadits ini benar atau salah adalah dengan merujuknya kepada Al-Qur’an. Ternyata Al-Qur’an sangat mengancam orang (kaum musyrik) yang melakukan sesembahan kepada lata, ‘uzza, dan manat, maka bagaimana mungkin di dalam mengecam ada kata pujian. Sehingga dapat dipahami bahwa hadits itu tidak benar, dan ternyata menurut Yusuf Qaradhawi hadits itu memang “hadits palsu”.
2. Menghimpun Hadis-Hadis yang Setema.
Menurut Al-Qardhawi, untuk menghindari kesalahan dalam memahami kandungan hadis yang sebenarnya perlu menghadirkan hadis-hadis lain yang setema. Adapun prosedurnya ialah dengan menghimpun hadis sahih yang setema kemudian mengembalikan kandungan hadis yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengantarkan yang mutlaq kepada yang muqayyad, yang ‘am ditafsirkan dengan yang khas. Hal ini dikarenakan posisi hadis untuk menafsirkan al-qur’an, dan menjelaskan maknanya, maka sudah pasti bahwa ketentuan-ketentuan tersebut harus berlaku bagi hadis secara keseluruhan.
Dalam hal ini, Al-Qardhawi menguraikan contoh sebuah hadis tentang hukum pertanian. Pertama-tama beliau mengemukakan hadis yang mencela orang yang membawa alat pertanian masuk rumah. Dari abu ‘Umamah al-Bahily ketika melihat alat untuk membajak, ia berkata; “Saya mendengar Nabi saw bersabda;
 لايدخل هذا بيت قوم إلا أدخله الله الذلّ 
Tidak akan masuk (alat) ini ke dalam rumah suatu kaum, kecuali Allah pasti memasukkan kehinaan ke dalamnya”. (Sahih al-Bukhari, kitab “al-Muzaro’ah).
Pengertian lahiriah hadis tersebut menunjukkan Rosululloh tidak menyukai pertanian, sebab akan menimbulkan kehinaan. Benarkah ajaran Islam demikian? Maka kita kemudian mengambil hadits-hadits yang setema dengan hadits di atas yang ternyata sebagian besar justeru mendukung perihal pertanian. Salah satu hadits yang menunjukkan keutamaan bercocok tanam, diantaranya;
ما من مسلم يغرس غرسا او يزرعزرعا فيأكل منه طير او إنسان أو بهيمة إلاّ كان له به صدقة
Tidak seorang Muslim menanam tanaman, lalu buahnya dimakan burung atau manusia atau binatang, kecuali ia pasti beroleh sedekah.” (HR. Bukhari & Muslim dari Anas, al-Lu’lu wa al-Marjan, hadis no. 1001).
Salah satu hadist yang artinya: “Apabila Kiamat terjadi, dan di tangan salah seorang kalian ada bibit kurma, maka seandainya ia mampu menangguhkan kiamat sampai dia menanamnya, maka tanamlah”. (HR. Bukhari dalam Adab al-Mufrad).[20]
Dengan adanya hadits-hadits pembanding yang lebih kuat, maka kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa pertanian menurut Islam itu penting dan harus diupayakan dan ditingkatkan pelaksanannnya.
3. Kompromi atau Tarjih terhadap Hadis-Hadis yang Kontradiktif.
Dalam pandangan Al-Qardhawi, pada dasarnya nash-nash syari’at tidak akan saling bertentangan. Pertentangan yang mungkin terjadi adalah bentuk lahiriyahnya bukan dalam kenyataan yang hakiki. Adapun solusi yang ditawarkan Al-Qardhawi adalah, al-jam’u (penggabungan atau pengkompromian). Bagi Al-Qardhawi, hadis yang tampak bertentangan dengan hadis yang lain dapat dilakukan dengan cara mengompromikan hadis tersebut.[21]
Berikut ini akan dibandingkan dua hadis yang berbeda sanadnya yang berisi tentang larangan mengenakan sarung sampai dabawah mata kaki atau memanjangkan sarung. Shahih muslim, kitab iman
قال مسلم : حدثنى ابو بكربن خلاد الباهلى حدثنا يحيى وهو القطان حدثنا سفيان حدثناسليمان الآعمش عن سليمان بن مسهر عن خرشة بن الخر عن أبى ذر عن النبيى ص م قال ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة المنّان الذى لايعطي شيئا الاّ منّه والمنفق سلعته بالحلف الفاجر و المسبل ازره
“ Tiga jenis manusia, yang kelak, pada hari kiamat, tidak akan diajak bicara oleh Allah: pertama, seorang manusia (pemberi) tidak memberi sesuatu kecuali untuk diungkit-ungkit; kedua, seorang pedagang yang berusaha melariskan barang dagangannya dengan mengucapkan sumpah-sumpah bohong, dan ketiga,seorang yang membiarkan sarungnya terjulur sampai dibawahkedua mata kakinya”.
Hadis di atas secara umum mengancam orang yang membiarkan sarungnya terjulur sampai dibawah kedua mata kakinya. Dari hadis tersebut,timbul pertanyaan,apa di balik pelarangan tersebut? Untuk mengetahui kandungan hadis tersebut perlu diperbandingkan dengan hadis-hadis semakna. Salah satu hadis yang semakna dengan hadis di atas adalah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhori, sebagai berikut:
Shahih Al bukhari, kitab Al-libas,bab man jarra izarah
قال البخا رى:حد ثنا أحمد بن يونس حد ثنا زهير حد ثنا مو سى بن عقبة عن سالم بن عبد الله عن ابيه رضي الله عنه عن النبي صلي الله عليه وسلم قا ل من جرثوبه خيلاء لم ينظر الله اليه يوم القيامة يسترخي الاّ ان أتعاهد ذالك منه فقال النبي ص م لست ممّّن يصنعه خيلاء
“Barang siapa menyeret sarungnya (yakni menjulurkannya sampai menyentuh atau hampir menyentuh tanah) karena sombong, maka Allah tidak akan memandang kepadanya pada hari kiamat. Abu bakr bertanya kepada beliau: Ya Rosulullah, salah atu sisi sarungku selalu terjulur ke bawah, namun saya sering-sering membetulkan letaknya.Nabi Muhammad Saw. Berkata kepadanya: engkau tidak termasuk orang-orang yang mlakukannya karena kesombongan.”
Setelah dilakukan perbandingan dua hadis yang semakna seperti kedua hadits di atas, maka dapat disimpulkan bahwa larangan menjulurkan sarung atau pakaian lainnya sampai menyentuh tanah adalah yang dilakukan karena ada unsur kesombongan. Kesombongan merupakan salah satu sifat yang sangat dibenci Allah, maka pantaslah Rosulullah mengingatkan umatnya agar tidak melakukan aktivitas yang disertai dengan kesombongan termasuk dalam berpakaian.
Memanjangkan sarung, pakaian yang lain, gaun dan celana adalah merupakan tradisi para raja. Pada acara kerajaan, mereka menggunakan pakaian yang mahal, panjang bahkan sampai menjulur ke tanah. Pakaian raja tersebut melambangkan kehebatan, kelebihan, dan sekaligus kesombongan terhadap rakyat dan budaknya. Dan hal tersebut tidak baik untuk ditiru oleh umat Nabi Muhammad SAW karena dilandasi dengan sikap sombong.
Menurut muhaddistin, sekiranya kandungan suatu matan hadis bertentangan dengan matan hadis lainnya, maka perlu diadakan pengecekan secara cermat. Sebab, Nabi Muhammad Saw. Tidak mungkin melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan perbuatan yang lainnya, atau mengucapkan suatu kata yang bertentangan dengan perkataan yang lain,demikian pula dengan Alquran. Pada dasarnya, kandungan matan hadis tidak ada yang bertentangan, baik dengan hadis maupun dengan Alquran. Apabila ditemukan ada pertentangan antara keduanya, maka perlu dikaji, apakah pertentangan itu sesungguhnya ataukah pertentangan itu hanya pada lahirnya saja.[22]
4. Memahami Hadis Sesuai dengan Latar Belakang, Situasi dan Kondisi serta Tujuannya.[23]
Menurut Al-Qardhawi, dalam memahami hadis nabi, dapat memperhatikan sebab-sebab atau latar belakang diucapkannya suatu hadis atau terkait dengan suatu illat tertentu  yang dinyatakan dalam hadis, atau dipahami dari kejadian yang menyertainya. Hal demikian mengingat hadis nabi dapat menyelesaikan problem yang bersifat lokal, partikular, dan temporer. Dengan mengetahui hal tersebut seseorang dapat melakukan pemahaman atas apa yang bersifat khusus dan  yang umum, yang sementara dan abadi.  Dengan demikian, menurut Al-Qardhawi, apabila kondisi telah berubah dan tidak ada illat lagi, maka hukum yang berkenaan dengan suatu nash akan gugur dengan sendirinya. Hal itu sesuai dengan kaidah hukum berjalan sesuai dengan illatnya, baik dalam hal ada maupun tidak adanya. Maka yang harus dipegang adalah maksud yang dikandung dan bukan pengertian harfiyahnya.
Sebab-sebab atau latar belakang turunnya hadits itu sendiri menurut Imam as-Suyuthi mempunyai urgensi dan signifikansi antara lain:
1.      Menentukan adanya takhsish hadis yang bersifat umum
2.      Membatasi pengertian hadis yang masih mutlak
3.      Memperinci hadis yang bersifat global
4.      Menentukan ada atau tidak adanya nasikh – mansukh dalam hadis
5.      Menjelaskan illat (sebab-sebab) ditetapkannya hadis, dan
6.      Menjelaskan maksud suatu hadis yang masih musykil.
Sebagai contoh adanya takhsish terhadap suatu hadis yang ‘aam adalah:
“Sholat orang yang sambil duduk, pahalanya separuh dari orang yang sholat sambil berdiri,” (HR. Ahmad).
Hadis di atas menjelaskan kata “ sholat” masih bersifat umum. Setelah ditelusuri asbabul-wurudnya “ketika di Madinah terserang wabah penyakit, banyak orang sholat sunnah dengan duduk. Nabi lalu datang dan tahu keadaan tersebut. Maka Nabi bersabda: “Sholat orang yang sambil duduk, pahalanya separuh dari orang yang sholat sambil berdiri,”. Mendengar pernyataan Nabi, para sahabat yang tidak sakit, lalu sholat sunnah sambil berdiri. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud “sholat” dalam hadis itu adalah sholat sunnah bukan sholat wajib. Jadi, apabila ada orang yang sakit kemudian sholat wajib dengan duduk, maka pahalanya tetap utuh, karena hal itu memang sebagai rukhsoh baginya.[24]
5. Membedakan antara Sarana yang Berubah-ubah dan Tujuan yang Tetap.
Menurut Al-Qardhawi, memahami hadis Nabi harus memperhatikan makna substansial atau tujuan, sasaran hakekat teks hadis tersebut, sarana yang tampak pada lahirnya hadis dapat berubah-ubah. Untuk itu tidak boleh mencampuradukkan antara tujuan hakiki yang hendak dicapai hadis dengan sarana temporer atau lokal. Dengan demikian, bila suatu hadis menyebutkan sarana tertentu untuk mencapai tujuan, maka sarana tersebut tidak bersifat mengikat, karena sarana tersebut ada kalanya berubah karena adanya perkembangan zaman, adat dan kebiasaan.
Sebagai contoh : tentang tata cara pengobatan ala Nabi. Nabi bersabda:
-  Sebaik-baiknya pengobatan yang kalian lakukan adalah berbekam”.                 (HR. Ahmad dan Ath-Thabrani, Al-Hakim mensahihkannya dari Samrah. Lihat Al-Jami’ as-Shaghir).
- “Gunakanlah oleh kalian kayu cendana (al-‘ud al-Hindy) karena ia penawar bagi tujuh macam penyakit”. (HR. Al-Bukhari dari Ummu al-Qais. Lihat Shahih al-Jami’ as-Shaghir).
- “Jintan hitam (habbah as-sauda’) mengandung obat bagi setiap penyakit kecuali kematian”. (H R. Bukhari dan Muslim. Lihat Al-Lu’lu wa al-Marjan, hadis no. 1430).
            Menurut Al-Qaradhawy hadis-hadis di atas menjelaskan tentang sarana-sarana menuju sehat (penyembuhan dari penyakit) yang selalu berubah-ubah, tetapi tujuannya adalah agar Umat Islam senantiasa memelihara kesehatan dan kehidupan manusia.
6. Membedakan antara yang Hakekat dan Ungkapan[25]
Teks-teks hadis banyak sekali yang menggunakan majas atau metafora, karena Rasulullah SAW. adalah orang Arab yang menguasai ilmu balaghah. Rasul menggunakan majas untuk mengemukakan maksud beliau dengan cara yang sangat mengesankan. Misalnya hadis tentang sifat-sifat Allah. Hadis semacam ini tidak bisa secara langsung dipahami, tapi harus perhatikan berbagai indikasi yang menyertainya, baik yang bersifat tekstual ataupun kontekstual.
Sebagai contoh adalah salah satu hadits qudsi yang artinya:”Jika hamba-Ku mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekat kepadanya sehasta, Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku akan mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku sambil berjalan, maka Aku akan datang kepadanya sambil berlari”. (HQR. Bukhari dan Muslim, lihat Al-Lu’lu wa al-Marjan o. 1721 dan 1746). Maksud dari Alloh berjalan atau berlari pada hadis di atas adalah perumpamaan atau perlambang bahwa siapa yang bergegas datang kepada Alloh dengan ketaatan, maka Alloh akan memberinya pahala lebih cepat dari kedatangannya.[26]
7. Membedakan antara yang Gaib dan yang Nyata[27]
Dalam kandungan hadis ada hal-hal yang berkaitan dengan alam gaib, misalnya hadis yang menyebutkan tentnag makhluk-mahluk yang tak dapat dilihat seperti malaikat, jin, syetan, iblis, ‘ars, kursy, qalam dan sebagainya. Terhadap hadis-hadis tentang alam gaib, Al-Qardhawi sesuai dengan Ibnu Taimiyah, yaitu menghindari ta’wil serta mengembalikan itu kepada Allah tanpa memaksakan diri untuk mengetahuinya. Sebagai contoh adalah hadis yang artinya:” Di Surga terdapat sebuah pohon yang jika seorang pengendara melewti di bawahnya selama seratus tahun, maka tidak cukup untuk menempuhnya”. (HR. Bukhari dan Muslim, dari Sahl bin Sa’d, Abu Sa’id dan Abu Hurairah, lihat Al-Lu’lu wa al-Marjan no. 1799, 1800, dan 1801. Bukhari juga meriwayatkannya dari Anas).
8. Memastikan Makna Kata-kata dalam Hadis
Untuk dapat memahami hadis dengan sebaik-baiknya, menurut Al-Qardhawi penting sekali untuk memastikan makna dan konotasi kata-kata yang digunakan dalam susunan hadis, sebab konotasi kata-kata tertentu adakalanya berubah dalam suatu masyarakat ke masyarakat lainnya. Sebagai contoh adalah kata “tashwir” yang dalam beberapa hadits sahih disebutkan bermakna membuat gambar atau patung bernyawa. Pada zaman sekarang apakah profesi juru kamera atau fotografer juga termasuk yang mendapat sanksi yang pedih sebagaimana pada hadits –hadits itu? Karena dalam Bahasa Arab yang sekarang kata “al-mushowwir –bentuk fa’il dari tashwir-“ bermakna orang yang menggunakan kamera dalam pemotretan atau syuting film. Sebagian besar ahli hadits dan fiqih memasukannya dalam ancaman tersebut. Tetapi apakah memang demikian, karena pada saat masyarakat Arab menamai profesi juru kamera atau fotografer dengan kata “al-mushowwir”, mereka tidak merujuk kepada kata “tashwir” yang dimaksud dalam hadis-hadits tentang larangan “tashwir”. [28]
Agar sukses memahami hadis secara benar, Qardhawi menegaskan bahwa kita harus menghimpun Hadis Shahih yang berkaitan dengan suatu tema tertentu. Kemudian mengembalikan kandungan yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengaitkan yang mutlak dengan muqayyad, dan menafsirkan yang ‘am dengan khass. Dengan cara itu, suatu hadis dapatlah dimengerti maksudnya dengan lebih jelas dan tidak dipertentangkan antara hadis yang satu dengan yang lain.

III         PENUTUP
Demikian sekilas metode untuk memahami hadis menurut al-Qaradhawy yang telah penuis sampaikan. Dengan mengetahui tentang metodologi pemahaman hadits menurut al-Qaradhawy seperti dijelaskan di atas, diharapkan pembaca dapat sedikit memahami tentang bagaimana cara untuk memahami kandungan makna suatu hadits. Diharapkan dengan pengetahuan tersebut, seseorang dapat mengambil nilai hokum yang terkandung dalam suatu hadis sesuai dengan pemahaman yang dimilikinya. Dengan memahami cara pandang dalam menyikapi suatu hadis, diharapkan kita dapat bersikap lebih toleran terhadap pandangan yang berbeda kaitannya dengan interpretasi suatu hadis.





DAFTAR PUSTAKA

Ali , Nizar., (Ringkasan Desertasi) Kontribusi Imam Nawawi dalam Penulisan Syarh} Hadis. Yogyakarta, 2007.
________. Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan). Yogyakarta: Center for Educational Studies and Development (CESaD) YPI Al-Rahmah, 2001.
Baidan, Nashrudin Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Hasan, Fuad dan Koentjaraningrat. Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, dalam Koentjaraningrat (ed.), Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia., 1997.
Joko, Lilik, Penelitian Matan Hadits Dengan Pendekatan Hadits Shahih, Al Qur’an, Bahasa dalam http://lilikjoko.wordpress.com/contoh-makalah-penelitian-matan-hadits/ diakses pada 3 November 2010.
Munawwar, Said Agil Husain al- dan Abdul Mustaqim,  Asbabul Wurud Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual,. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Munawwir, A.W. Kamus Al-Munawwir Arab – Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Mustaqim , Abdul et al., Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami Hadis, Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009.
Qaradhawi, Yusuf al-, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw. terj. Muh. AlBaqir, Bandung: Kharisma, 1993.
________, Pengantar Studi Hadis, terj. Agus Suyadi Raharusun dan Dede Rodin, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Rahman, Fatchur. Ikhtishar Musthalahul Hadits, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1974.
Subandi, Soli. Metode Pemahaman Hadis dalam http://www.google.co.id/searchbagaimana+metode+pemahaman+hadis di akses tanggal 20 Januari 2010.
Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi, Yogyakarta: Penerbi Teras, 2008.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa KBBI. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Cetakan ketiga, edisi III., 2005.
Yunus, Mahmud., Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Penafsir Al-Qur’an, 1973.


[1] Q.S. An-Najm (53) : 3-4.
[2] Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2008),  hlm. 6 – 7.
[3] Abdul Mustaqim et. all., Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami Hadis, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009), hlm. 2.
[4] Yusuf al-Qaradhawi,. Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw. edisi terjemahan (Bandung: Kharisma, 1993), hlm. 20.
[5] Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalahul Hadits, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1974), hlm. 20 – 21.
[6] Ibid. 28.
[7] Said Agil Husain Munawwar dan Abdul Mustaqim. 2001.  Asbabul Wurud. Yogyakarta: Pustaka Pelajar., hal. 24.
[8] Metode ini diadopsi dari metode penafsiran Al-Qur’an dengan melihat karakter persamaan yang terdapat antara penafsiran Al-Qur’an dan penafsiran atau syarh}} hadis. Artinya metode penafsiran Al-Qur’an dapat diterapkan dalam syarh} h}adis} dengan mengubah redaksi/kata Al-Qur’an menjadi hadis; tafsir menjadi syarh}. (baca Nizar Ali. 2001. Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan). Yogyakarta: Center for Educational Studies and Development (CESaD) YPI Al-Rahmah., hal. 28.
Dalam studi tafsir telah dijumpai beberapa teori tentang tafsir Al-Qur’an dengan melihat metode dan corak penafsiran yang dipakai oleh para ulama tafsir dalam kitab-kitab tafsir. Ada 4 (empat) metoden penafsiran, yaitu: metode tafsir  tah}li>li> (analitis), metode tafsir ijma>li> (global), metode tafsir muqa>rin (perbandingan) dan metode tafsir maud}u>i (tematik). Ibid., hal. 28, atau baca Nashrudin Baidan. 2000. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[9] Ibid.,hal. 1 atau baca Fuad Hasan dan Koentjaraningrat. 1997. Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, dalam Koentjaraningrat (ed.), Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia., hal. 16.
[10] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa KBBI. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka. Cetakan ketiga, edisi III., 2005),  hal. 740.
[11] Ibid., hal. 741.
[12] Dalam buku Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami Hadis, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009), hlm. 2, kumpulan tulisan Abdul Mustaqim dkk., Abdul Mustaqim memberikan istilah pemahaman hadis dengan istilah  “Fiqh al-hadis”.
[13] A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab – Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 707.
[14] Nizar Ali., Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan). (Yogyakarta: Center for Educational Studies and Development (CESaD) YPI Al-Rahmah, 2001).,28.
[15] Nizar Ali. 2007. (Ringkasan Desertasi) Kontribusi Imam Nawawi dalam Penulisan Syarh} Hadis. Yogyakarta., hal. 4.

[16] Yusuf al-Qaradhawi,. Pengantar Studi Hadis, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1993), hlm. 123 – 127.
[17] Ibid. hlm. 128 – 133.
[18] Ibid. hlm. 133 – 134.
[19] Yusuf al-Qaradhawi, Pengantar Studi Hadis, terj. Agus Suyadi Raharusun dan Dede Rodin, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 153 – 155. Dapat pula dibaca Yusuf al-Qaradhawi,  Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw. edisi terjemahan (Bandung: Kharisma, 1993), hlm. 92. Lihat juga Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi, (Yogyakarta: Penerbi Teras, 2008), hlm.135 – 188.
[20] Ibid., hlm. 180 – 183.
[21] Ibid. hlm. 186.
[22] Soli Subandi, Metode Pemahaman Hadis dalam http://www.google.co.id/search? Bagaimana metode pemahaman +hadits di akses tanggal 20 Januari 2010.

[23] Ibid. hlm. 202.
[24] Said Agil Husin al-Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm.13 – 15. Lebih lengkapnya silahkan dibaca buku tersebut.
[25] Ibid. hlm. 238.
[26] Ibid. hlm. 242 – 243.
[27] Ibid. hlm. 265 - 270.
[28] Ibid. hlm. 272 - 274.

Komentar

Postingan Populer