Contoh Makalah yang Baik
Oleh: Khanafi, S.Sos.I,
M.Pd.I.
I.
PENDAHULUAN
Hadits atau sunnah adalah
sesuatu yang bagi Umat Islam sangat penting. Ia merupakan salah satu dari dasar
ajaran Islam yang utama selain Al-Qur,an. Mengamalkan suatu hadits berarti
mengamalkan ajaran agama, bahkan apabila seorang Muslim tidak mau menerima dan mengamalkannya
dapat dikatakan sebagai orang yang “Ingkar Sunnah”. itu berarti sama saja
dengan mendurhakai perintah Allah dan Rasul-Nya. Karena Alloh sendiri
menyampaikan dalam Al-Qur’an bahwa” Dan
tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”.[1]
Dalam pelaksanannya, tidak
semua orang Islam dapat mengamalkan hadits sesuai dengan yang dikehendaki oleh
“Sang Redaktur”-nya, yaitu Nabi Muhammad SAW. Hal itu berkaitan dengan seberapa
jauh pengetahuannya tentang hadits itu sendiri dan seberapa jauh pula pemahaman
tentang kandungan maknanya. Maka dibutuhkan suatu teknik atau metode untuk
dapat memahami hadits secara baik dan benar agar umat Islam dapat mengamalkan
nilai-nilai hukum yang terkandung dalam sebuah hadits tanpa perasaan ragu-ragu
dan terbebas dari kekeliruan.
Di samping itu, menurut
Suryadi, ada beberapa faktor mendasar yang menyebabkan urgensitas suatu metode
pendekatan dalam memahami hadits. Pertama, tidak semua kitab hadits ada
syarh (penjelasannya)-nya, sehingga dibutuhkan suatu ilmu untuk dapat memahami
sebuah hadits. Kedua, para ulama salaf dalam upaya memahami hadits
umumnya cenderung memfokuskan data riwayah dengan penekanan sudut gramatika
bahasa dan pola pikir bayani yang dapat menimbulkan kendala manakala pemikiran
mereka dipahami sebagai sesuatu yang final dan dogmatis.[2]
Padahal suatu pemikiran muncul dalam kerangka ruang dan waktu yang mana akan
menyebabkan adanya perbedaan antara dulu dan sekarang. Maka tidak menutup
kemungkinan adanya suatu interpretasi baru yang berbeda dengan zaman dulu terhadap
pemahaman suatu hadits.
Dalam tulisan ini penulis akan
menyampaikan tentang apa yang dimaksud dengan hadits dan bagaimana metode untuk
dapat memahaminya, dengan harapan dapat memberikan wawasan kepada pembaca
mengenai metode pemahaman hadits. Dengan demikian diharapkan pembaca khususnya umat
Islam dapat memahami hadits Nabi SAW secara baik dan benar sehingga dapat
mengamalkannya secara baik dan benar pula.
II. PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hadits
Pengertian hadis secara
terminologi sangat beragam di kalangan para ulama. Ahl-al
Hadis mendefinisikan hadits adalah segala hal yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat khuluqiyah
(berkaitan dengan fisik Nabi) dan kholqiyah (perilaku hidupnya) baik sebelum
bi’tsah (diutus menjadi Rosul) maupun setelahnya.[3]
Hadis bagi mereka mencakup
kelima aspek ini, dan dalam perspektif ini menurut mereka hadits sama dengan
sunnah.
Sedangkan menurut ahli Usūl Fiqh, hadis adalah segala sesuatu yang
disandarkan kepada Muhammad saw. baik berupa perkataan, perbuatan, maupun
taqrir Nabi yang behubungan dengan hukum syara’. Menurut Ulama Ushul Fiqh,
sunnah adalah sumber hukum setelah Al-Qur’an, yaitu segala sesuatu yang berasal
dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapan/persetujuan. Asumsinya adalah bahwa apapun
yang berasal dari Nabi, merupakan petunjuk atas cara Nabi dalam memahami dan
mengamalkan Islam. Lain lagi menurut Ulama Fiqh, sunnah adalah persamaan
istilah dengan mandhub atau mustahab, salah satu dari hukum tasyri’ yang
berarti sesuatu yang dianjurkan, [4]
Di kalangan para ulama
berpendapat bahwa hadis tidak hanya sesuatu yang disandarkan kepada nabi,
melainkan juga berasal dari sahabat nabi, dan tabi’in. Hal ini karena dalam
ilmu hadis terdapat istilah yang mengarah kepada hal itu, yakni istilah hadis
marfu’ (hadis yang disandarkan kepada nabi), hadis al-mauqūf (hadis yang
disandarkan kepada sahabat nabi), hadis al-maqthu’ (hadis yang disandarkan
kepada al-tabi’in).[5]
Istilah lain untuk mengartikan
hadis adalah atsar dan khabar. Ahli hadis
menilai kedua istilah tersebut dan juga
istilah hadis dan sunnah merupakan sinonim
(persamaan kata).[6]
Di antara ahli hadis yang lain menyatakan berbeda, sebab atsar diartikan dengan perkataan
atau keputusan-keputusan yang disampaikan oleh para sahabat. Istilah lain yang paling sering digunakan untuk mewakili kata hadits adalah as-sunnah.
Dari pengertian-pengertian di
atas, penulis menyimpulkan dan berpandangan bahwa sunnah adalah segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat
khuluqiyah (berkaitan dengan fisik Nabi) maupun sifat kholqiyah (perilaku hidupnya)
baik sebelum bi’tsah (diutus menjadi Rosul) maupun setelahnya dan tidak mesti menyangkut
nilai hokum bagi umat Islam. Hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad SAW., baik berupa
perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun kehendak Nabi SAW. yang mengandung implikasi
terhadap Umat Islam dari segi pelaksanaannya (hadis adalah bagian dari sunnah).
Sementara khobar adalah berita atau riwayat yang dapat berasal dari Nabi dan
dapat pula berasal dari sahabat atau tabi’in. Sedangkan atsar adalah suatu hal
yang disandarkan pada para sahabat, seperti atsar-nya Sahabat Abubakar, Umar,
Utsman, ‘Ali KW., dan lain-lain.
Secara
epistemologis, hadis dipandang oleh mayoritas
umat Islam sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an. Sebab ia
merupakan bayaan (penjelas),
terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal (global), ‘aam
(umum) dan yang muthlaq (tanpa
batasan). Bahkan secara mandiri hadis dapat berfungsi sebgai penetap (muqarrir)
suatu hukum yang belum ditetapkan oleh Al-Qur’an.[7]
Hadis
sebagai sumber kedua, nampaknya selalu menarik untuk dikaji, baik yang
menyangkut tentang kritik otentitas atau validitas (sanad dan matan)
maupun metodologi pemahaman (syarh)
hadis itu sendiri. Para ulama dahulu telah banyak mencoba melakukan penafsiran
atau pemahaman hadis yang terdapat dalam al-Kutub al-Sittah, yakni
dengan menulis kitab syarah terhadap kitab tersebut. Meskipun demikian, upaya
untuk menemukan metode yang digunakan ulama dalam penyusunan kitab syarah hadis
tersebut hampir-hampir tidak pernah tersentuh. Namun dari beberapa metode yang
dipergunakan oleh para ulama dalam menyusun kitab syarh}
tersebut dapat diklasifikasikan beberapa metode pemahaman hadis, yakni metode
tahli>li>,
metode ijma>li>, dan
metode muqa>rin.[8]
B.
Metodologi Pemahaman Hadis
1. Metode dan Metodologi
Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani methodos,
yang berarti cara atau jalan.[9]
Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan bangsa Arab
menerjemahkannya dengn t}ari>qat dan manhaj. Dalam bahasa
Indonesia, kata tersebut mengandung arti: cara teratur yang digunakan untuk
melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara
kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai
tujuan yang ditentukan.[10]
Sedangkan metodologi berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti
cara atau jalan, logos artinya ilmu. Kata metodologi dalam Kamus Besar
Bahasa Indosesia diartikan sebagai ilmu tentang metode; uraian tentang metode.[11]
Kata ”syarh” berasal dari bahasa Arab, Syaraha-Yasyrahu-Syarhan yang artinya menerangkan, menjelaskan, membukakan,
melapangkan, atau menafsirkan.[13]
Istilah syarh (pemahaman) biasanya digunakan untuk hadis, sedangkan tafsir
untuk kajian Al-Qur’an. Dengan kata lain, secara substansial keduanya sama
(sama-sama menjelaskan maksud, arti atau pesan); tetapi secara istilah,
keduanya berbeda. Istilah tafsir khusus untuk Al-Qur’an (menjelaskan
maksud, arti, kandungan, atau pesan ayat Al-Qur’an), sedang istilah syarh al-hadis bermakna menjelaskan maksud, arti, kandungan,
atau pesan dari suatu hadis.[14]
Jadi maksud dari metodologi pemahaman (syarh) hadis ialah ilmu
tentang metode memahami hadis. Dengan demikian, kita dapat membedakan antara
dua istilah, yakni metode syarh: cara-cara memahami hadis, sementara
metodologi syarh: ilmu tentang cara tersebut. Metode
yang digunakan oleh pensyarahan hadis ada tiga, yaitu metode tahlielie,
metode ijmaalie, dan metode muqaarin. Adapun untuk melihat kitab dari sisi bentuk
pensyarahan, digunakan teori bentuk syarh
bi al-ma`s|ur dan syarh} bi al-ra’y. Sedangkan dalam menganalisis corak
kitab digunakan teori kategorisasi bentuk syarh fiqhy, falsafy, sufy, atau lughawy.[15]
3. Metodologi Pemahaman Hadits Menurut al-Qaradhawy
Di antara para pemikir kontemporer, Al-Qaradhawi memberikan penjelasan yang luas tentang bagaimana pemikirannya mengenai hadis yang dikembangkan menjadi metode sistematis untuk menilai
otentisitas hadis. Menurut Al-Qaradhawi, sunnah nabi mempunyai 3 karakteristik,
yaitu komprehensif (manhaj syumul), seimbang (manhaj mutawazzun),
dan memudahkan (manhaj muyassar). Ketiga karakteristik ini akan
mendatangkan pemahaman yang utuh terhadap suatu hadis.[16]
Atas dasar inilah maka Al-Qardhawi menetapkan tiga hal juga yang harus
dihindari dalam berinteraksi dengan sunnah, yaitu pertama, penyimpangan kaum
ekstrim, kedua, manipulasi orang-orang sesat, (Intihal al-Mubthilin),
yaitu pemalsuan terhadap ajaran-ajaran Islam, dengan membuat berbagai macam
bid’ah yang jelas bertentangan dengan akidah dan syari’ah, dan ketiga,
penafsiran orang-orang bodoh (ta’wil al-jahilin). Oleh sebab itu,
pemahaman yang tepat terhadap sunnah adalah mengambil sikap moderat (wasathiya),
yaitu tidak berlebihan atau ekstrim, tidak menjadi kelompok sesat, dan tidak
menjadi kelompok yang bodoh.[17]
Untuk merealisasikan metodenya, Yusuf Qardhawi menerapkan metode pemahaman
hadis dengan prinsip-prinsip dasar yang harus ditempuhnya ketika berinteraksi
dengan sunnah, yaitu;
1. Meneliti kesahihan hadis sesuai dengan acuan umum yang ditetapkan oleh
pakar hadis yang dapat di percaya, baik sanad maupun matan.
2. Memahami sunnah sesuai dengan pengetahuan bahasa, konteks, asbab al-wurud
teks hadis untuk menentukan makna suatu hadis yang sebenarnya.
3. Memastikan bahwa sunnah yang dikaji tidak bertentangan dengan nash-nash
yang lebih kuat.[18]
Adapun untuk melakukan prinsip-prinsip dasar itu, maka Al-Qardhawi mengemukakan
8 langkah (metodologi) dalam memahami hadis atu sunnah, yaitu;
1. Memahami Hadis Sesuai dengan Petunjuk al-Qur’an.[19]
Menurut Al-Qardhawi, untuk memahami suatu hadis dengan benar harus sesuai
dengan petunjuk al-Qur’an. Karena terdapat hubungan yang signifikan antara
hadis dengan al-Qur’an. Oleh karena itu tidak mungkin kandungan suatu hadis
bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang muhkam, yang berisi
keterangan-keterangan yang jelas dan pasti.
Q.S. Al-An’am (6) : 115.
Sebagai contoh adalah hadits ghoroniq berikut ini: “Telah disebutkan bahwa
Nabi SAW ketika di Mekkah membaca Q.S. An-Najm dan ketika sampai ayat ke 19 dan
20 (“apakah patut kamu(hai orang-orang musyrik) menganggap lata dan ‘uzza, dan
manat yang ketiga yang paling terkemudian?”) setan menambahkan melalui lisan
Nabi SAW. “itulah berhala-berhala (ghoroniq) yang mulia dan syafaat mereka
sangat diharapkan”.
Tambahan kalimat ini didengar oleh kaum musyrik sehingga mereka kegirangan,
“sungguh Muhammad sebelum ini tidak pernah menyebut tuhan-tuhan kita dengan
sebutan baik.” Lalu, ketika Nabi sujud mereka pun turut sujud. Tak lama
kemudian Jibril datang ,” aku tidak pernah membawa wahyu seperti itu, itu dari
setan”.
Cara memahami hadits ini benar atau salah adalah dengan merujuknya kepada
Al-Qur’an. Ternyata Al-Qur’an sangat mengancam orang (kaum musyrik) yang
melakukan sesembahan kepada lata, ‘uzza, dan manat, maka bagaimana mungkin di
dalam mengecam ada kata pujian. Sehingga dapat dipahami bahwa hadits itu tidak
benar, dan ternyata menurut Yusuf Qaradhawi hadits itu memang “hadits palsu”.
2. Menghimpun Hadis-Hadis yang Setema.
Menurut Al-Qardhawi, untuk menghindari kesalahan dalam memahami kandungan
hadis yang sebenarnya perlu menghadirkan hadis-hadis lain yang setema. Adapun
prosedurnya ialah dengan menghimpun hadis sahih yang setema kemudian
mengembalikan kandungan hadis yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengantarkan
yang mutlaq kepada yang muqayyad, yang ‘am ditafsirkan dengan yang khas. Hal
ini dikarenakan posisi hadis untuk menafsirkan al-qur’an, dan menjelaskan
maknanya, maka sudah pasti bahwa ketentuan-ketentuan tersebut harus berlaku
bagi hadis secara keseluruhan.
Dalam hal ini, Al-Qardhawi menguraikan contoh sebuah hadis tentang hukum
pertanian. Pertama-tama beliau mengemukakan hadis yang mencela orang yang membawa
alat pertanian masuk rumah. Dari abu ‘Umamah al-Bahily ketika melihat alat
untuk membajak, ia berkata; “Saya mendengar Nabi saw bersabda;
لايدخل هذا بيت قوم إلا أدخله الله
الذلّ
“Tidak akan masuk (alat) ini ke dalam rumah suatu kaum, kecuali Allah pasti
memasukkan kehinaan ke dalamnya”. (Sahih al-Bukhari,
kitab “al-Muzaro’ah).
Pengertian lahiriah hadis tersebut menunjukkan Rosululloh tidak menyukai
pertanian, sebab akan menimbulkan kehinaan. Benarkah ajaran Islam demikian?
Maka kita kemudian mengambil hadits-hadits yang setema dengan hadits di atas
yang ternyata sebagian besar justeru mendukung perihal pertanian. Salah satu
hadits yang menunjukkan keutamaan bercocok tanam, diantaranya;
ما من مسلم يغرس غرسا او يزرعزرعا فيأكل منه طير او إنسان
أو بهيمة إلاّ كان له به صدقة
“Tidak seorang Muslim menanam tanaman, lalu buahnya dimakan burung atau
manusia atau binatang, kecuali ia pasti beroleh sedekah.” (HR. Bukhari & Muslim dari Anas, al-Lu’lu wa
al-Marjan, hadis no. 1001).
Salah satu hadist yang artinya: “Apabila Kiamat terjadi, dan di tangan
salah seorang kalian ada bibit kurma, maka seandainya ia mampu menangguhkan
kiamat sampai dia menanamnya, maka tanamlah”. (HR. Bukhari dalam Adab
al-Mufrad).[20]
Dengan adanya hadits-hadits pembanding yang lebih kuat, maka kita dapat
mengambil suatu kesimpulan bahwa pertanian menurut Islam itu penting dan harus
diupayakan dan ditingkatkan pelaksanannnya.
3. Kompromi atau Tarjih terhadap Hadis-Hadis yang Kontradiktif.
Dalam pandangan Al-Qardhawi, pada dasarnya nash-nash syari’at tidak akan
saling bertentangan. Pertentangan yang mungkin terjadi adalah bentuk
lahiriyahnya bukan dalam kenyataan yang hakiki.
Adapun solusi yang ditawarkan Al-Qardhawi adalah, al-jam’u (penggabungan atau
pengkompromian). Bagi Al-Qardhawi, hadis yang tampak bertentangan dengan hadis
yang lain dapat dilakukan dengan cara mengompromikan hadis tersebut.[21]
Berikut ini akan
dibandingkan dua hadis yang berbeda sanadnya yang berisi tentang larangan
mengenakan sarung sampai dabawah mata kaki atau memanjangkan sarung. Shahih
muslim, kitab iman
قال مسلم : حدثنى ابو بكربن
خلاد الباهلى حدثنا يحيى وهو القطان حدثنا سفيان حدثناسليمان الآعمش
عن سليمان بن مسهر عن خرشة بن الخر عن أبى ذر عن النبيى ص م قال ثلاثة لا يكلمهم
الله يوم القيامة المنّان الذى لايعطي شيئا الاّ منّه والمنفق سلعته بالحلف الفاجر
و المسبل ازره
“ Tiga jenis manusia, yang kelak, pada hari kiamat,
tidak akan diajak bicara oleh Allah: pertama, seorang manusia (pemberi) tidak
memberi sesuatu kecuali untuk diungkit-ungkit; kedua, seorang pedagang yang
berusaha melariskan barang dagangannya dengan mengucapkan sumpah-sumpah bohong,
dan ketiga,seorang yang membiarkan sarungnya terjulur sampai dibawahkedua mata
kakinya”.
Hadis di atas secara umum mengancam orang yang
membiarkan sarungnya terjulur sampai dibawah kedua mata kakinya. Dari hadis
tersebut,timbul pertanyaan,apa di balik pelarangan tersebut? Untuk mengetahui
kandungan hadis tersebut perlu diperbandingkan dengan hadis-hadis semakna.
Salah satu hadis yang semakna dengan hadis di atas adalah hadis yang
diriwayatkan Imam Bukhori, sebagai berikut:
Shahih Al bukhari, kitab Al-libas,bab man jarra izarah
قال البخا رى:حد ثنا أحمد
بن يونس حد ثنا زهير حد ثنا مو سى بن عقبة عن سالم بن عبد الله عن ابيه
رضي الله عنه عن النبي صلي الله عليه وسلم قا ل من جرثوبه خيلاء لم ينظر الله اليه
يوم القيامة يسترخي الاّ ان أتعاهد ذالك منه فقال النبي ص م لست ممّّن يصنعه خيلاء
“Barang siapa menyeret sarungnya (yakni menjulurkannya
sampai menyentuh atau hampir menyentuh tanah) karena sombong, maka Allah tidak
akan memandang kepadanya pada hari kiamat. Abu bakr bertanya kepada beliau: Ya
Rosulullah, salah atu sisi sarungku selalu terjulur ke bawah, namun saya
sering-sering membetulkan letaknya.Nabi Muhammad Saw. Berkata kepadanya: engkau
tidak termasuk orang-orang yang mlakukannya karena kesombongan.”
Setelah dilakukan perbandingan dua hadis yang semakna
seperti kedua hadits di atas, maka dapat disimpulkan bahwa larangan menjulurkan
sarung atau pakaian lainnya sampai menyentuh tanah adalah yang dilakukan karena
ada unsur kesombongan. Kesombongan merupakan salah satu sifat yang sangat
dibenci Allah, maka pantaslah Rosulullah mengingatkan umatnya agar tidak
melakukan aktivitas yang disertai dengan kesombongan termasuk dalam berpakaian.
Memanjangkan sarung, pakaian yang lain, gaun dan
celana adalah merupakan tradisi para raja. Pada acara kerajaan, mereka
menggunakan pakaian yang mahal, panjang bahkan sampai menjulur ke tanah.
Pakaian raja tersebut melambangkan kehebatan, kelebihan, dan sekaligus
kesombongan terhadap rakyat dan budaknya. Dan hal tersebut tidak baik untuk
ditiru oleh umat Nabi Muhammad SAW karena dilandasi dengan sikap sombong.
Menurut muhaddistin, sekiranya kandungan suatu matan
hadis bertentangan dengan matan hadis lainnya, maka perlu diadakan pengecekan
secara cermat. Sebab, Nabi Muhammad Saw. Tidak mungkin melakukan suatu
perbuatan yang bertentangan dengan perbuatan yang lainnya, atau mengucapkan
suatu kata yang bertentangan dengan perkataan yang lain,demikian pula dengan
Alquran. Pada dasarnya, kandungan matan hadis tidak ada yang bertentangan, baik
dengan hadis maupun dengan Alquran. Apabila ditemukan ada pertentangan antara
keduanya, maka perlu dikaji, apakah pertentangan itu sesungguhnya ataukah
pertentangan itu hanya pada lahirnya saja.[22]
4. Memahami Hadis Sesuai dengan Latar Belakang, Situasi dan Kondisi serta Tujuannya.[23]
Menurut Al-Qardhawi, dalam memahami hadis nabi, dapat memperhatikan
sebab-sebab atau latar belakang diucapkannya suatu hadis atau terkait dengan
suatu illat tertentu yang dinyatakan dalam hadis, atau dipahami dari
kejadian yang menyertainya. Hal demikian mengingat hadis nabi dapat menyelesaikan
problem yang bersifat lokal, partikular, dan temporer. Dengan mengetahui hal
tersebut seseorang dapat melakukan pemahaman atas apa yang bersifat khusus
dan yang umum, yang sementara dan abadi. Dengan demikian, menurut
Al-Qardhawi, apabila kondisi telah berubah dan tidak ada illat lagi, maka hukum
yang berkenaan dengan suatu nash akan gugur dengan sendirinya. Hal itu sesuai dengan
kaidah hukum berjalan sesuai dengan illatnya, baik dalam hal ada maupun tidak
adanya. Maka yang harus dipegang adalah maksud yang dikandung dan bukan
pengertian harfiyahnya.
Sebab-sebab atau latar belakang turunnya hadits itu sendiri menurut Imam
as-Suyuthi mempunyai urgensi dan signifikansi antara lain:
1. Menentukan adanya takhsish hadis yang bersifat umum
2. Membatasi pengertian hadis yang masih mutlak
3. Memperinci hadis yang bersifat global
4. Menentukan ada atau tidak adanya nasikh – mansukh dalam hadis
5. Menjelaskan illat (sebab-sebab) ditetapkannya hadis, dan
6. Menjelaskan maksud suatu hadis yang masih musykil.
Sebagai contoh adanya takhsish terhadap suatu hadis yang ‘aam adalah:
“Sholat orang yang sambil duduk, pahalanya separuh dari orang yang sholat
sambil berdiri,” (HR. Ahmad).
Hadis di atas menjelaskan kata “ sholat” masih bersifat umum. Setelah ditelusuri
asbabul-wurudnya “ketika di Madinah terserang wabah penyakit, banyak orang
sholat sunnah dengan duduk. Nabi lalu datang dan tahu keadaan tersebut. Maka
Nabi bersabda: “Sholat orang yang sambil duduk, pahalanya separuh dari orang
yang sholat sambil berdiri,”. Mendengar pernyataan Nabi, para sahabat yang
tidak sakit, lalu sholat sunnah sambil berdiri. Dari penjelasan tersebut dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud “sholat” dalam hadis itu adalah sholat sunnah
bukan sholat wajib. Jadi, apabila ada orang yang sakit kemudian sholat wajib
dengan duduk, maka pahalanya tetap utuh, karena hal itu memang sebagai rukhsoh
baginya.[24]
5. Membedakan antara Sarana yang Berubah-ubah dan Tujuan yang Tetap.
Menurut Al-Qardhawi, memahami hadis Nabi harus memperhatikan makna substansial atau tujuan, sasaran hakekat teks
hadis tersebut, sarana yang tampak pada lahirnya hadis dapat berubah-ubah.
Untuk itu tidak boleh mencampuradukkan antara tujuan hakiki yang hendak dicapai
hadis dengan sarana temporer atau lokal. Dengan demikian, bila suatu hadis
menyebutkan sarana tertentu untuk mencapai tujuan, maka sarana tersebut tidak
bersifat mengikat, karena sarana tersebut ada kalanya berubah karena adanya
perkembangan zaman, adat dan kebiasaan.
Sebagai contoh : tentang tata cara pengobatan ala Nabi. Nabi bersabda:
- ” Sebaik-baiknya pengobatan
yang kalian lakukan adalah berbekam”. (HR. Ahmad dan Ath-Thabrani,
Al-Hakim mensahihkannya dari Samrah. Lihat Al-Jami’ as-Shaghir).
- “Gunakanlah oleh kalian kayu cendana (al-‘ud al-Hindy) karena ia
penawar bagi tujuh macam penyakit”. (HR. Al-Bukhari dari Ummu al-Qais.
Lihat Shahih al-Jami’ as-Shaghir).
- “Jintan hitam (habbah as-sauda’) mengandung obat bagi setiap penyakit
kecuali kematian”. (H R. Bukhari dan Muslim. Lihat Al-Lu’lu wa al-Marjan,
hadis no. 1430).
Menurut Al-Qaradhawy
hadis-hadis di atas menjelaskan tentang sarana-sarana menuju sehat (penyembuhan
dari penyakit) yang selalu berubah-ubah, tetapi tujuannya adalah agar Umat
Islam senantiasa memelihara kesehatan dan kehidupan manusia.
6. Membedakan antara yang Hakekat dan Ungkapan[25]
Teks-teks hadis banyak sekali yang menggunakan majas atau metafora, karena Rasulullah SAW. adalah orang Arab yang menguasai ilmu balaghah. Rasul menggunakan majas untuk mengemukakan maksud beliau dengan
cara yang sangat mengesankan. Misalnya hadis tentang sifat-sifat Allah. Hadis
semacam ini tidak bisa secara langsung dipahami, tapi harus perhatikan berbagai
indikasi yang menyertainya, baik yang bersifat tekstual ataupun kontekstual.
Sebagai contoh adalah salah satu hadits qudsi yang artinya:”Jika
hamba-Ku mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekat kepadanya sehasta,
Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku akan mendekat kepadanya sedepa. Jika ia
datang kepada-Ku sambil berjalan, maka Aku akan datang kepadanya sambil berlari”.
(HQR. Bukhari dan Muslim, lihat Al-Lu’lu wa al-Marjan o. 1721 dan 1746). Maksud
dari Alloh berjalan atau berlari pada hadis di atas adalah perumpamaan atau perlambang
bahwa siapa yang bergegas datang kepada Alloh dengan ketaatan, maka Alloh akan
memberinya pahala lebih cepat dari kedatangannya.[26]
7. Membedakan antara yang Gaib dan yang Nyata[27]
Dalam kandungan hadis ada hal-hal yang berkaitan dengan alam gaib, misalnya
hadis yang menyebutkan tentnag makhluk-mahluk yang tak dapat dilihat seperti
malaikat, jin, syetan, iblis, ‘ars, kursy, qalam dan sebagainya. Terhadap
hadis-hadis tentang alam gaib, Al-Qardhawi sesuai dengan Ibnu Taimiyah, yaitu
menghindari ta’wil serta mengembalikan itu kepada Allah tanpa memaksakan diri
untuk mengetahuinya. Sebagai contoh adalah hadis yang artinya:” Di Surga
terdapat sebuah pohon yang jika seorang pengendara melewti di bawahnya selama
seratus tahun, maka tidak cukup untuk menempuhnya”. (HR. Bukhari dan Muslim, dari Sahl bin Sa’d, Abu Sa’id dan Abu Hurairah,
lihat Al-Lu’lu wa al-Marjan no. 1799, 1800, dan 1801. Bukhari juga
meriwayatkannya dari Anas).
8. Memastikan Makna Kata-kata dalam Hadis
Untuk dapat memahami hadis dengan sebaik-baiknya, menurut Al-Qardhawi
penting sekali untuk memastikan makna dan konotasi kata-kata yang digunakan
dalam susunan hadis, sebab konotasi kata-kata tertentu adakalanya berubah dalam
suatu masyarakat ke masyarakat lainnya. Sebagai contoh adalah kata “tashwir” yang dalam beberapa hadits
sahih disebutkan bermakna membuat gambar atau patung bernyawa. Pada zaman
sekarang apakah profesi juru kamera atau fotografer juga termasuk yang mendapat
sanksi yang pedih sebagaimana pada hadits –hadits itu? Karena dalam Bahasa Arab
yang sekarang kata “al-mushowwir –bentuk fa’il dari tashwir-“ bermakna orang
yang menggunakan kamera dalam pemotretan atau syuting film. Sebagian besar ahli
hadits dan fiqih memasukannya dalam ancaman tersebut. Tetapi apakah memang
demikian, karena pada saat masyarakat Arab menamai profesi juru kamera atau
fotografer dengan kata “al-mushowwir”, mereka tidak merujuk kepada kata
“tashwir” yang dimaksud dalam hadis-hadits tentang larangan “tashwir”. [28]
Agar sukses memahami hadis secara benar, Qardhawi menegaskan bahwa kita
harus menghimpun Hadis Shahih yang berkaitan dengan suatu tema tertentu.
Kemudian mengembalikan kandungan yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengaitkan
yang mutlak dengan muqayyad, dan menafsirkan yang ‘am dengan khass. Dengan cara
itu, suatu hadis dapatlah dimengerti maksudnya dengan lebih jelas dan tidak
dipertentangkan antara hadis yang satu dengan yang lain.
III PENUTUP
Demikian sekilas metode untuk memahami hadis menurut
al-Qaradhawy yang telah penuis sampaikan. Dengan mengetahui tentang metodologi
pemahaman hadits menurut al-Qaradhawy seperti dijelaskan di atas, diharapkan
pembaca dapat sedikit memahami tentang bagaimana cara untuk memahami kandungan
makna suatu hadits. Diharapkan dengan pengetahuan tersebut, seseorang dapat
mengambil nilai hokum yang terkandung dalam suatu hadis sesuai dengan pemahaman
yang dimilikinya. Dengan memahami cara pandang dalam menyikapi suatu hadis,
diharapkan kita dapat bersikap lebih toleran terhadap pandangan yang berbeda
kaitannya dengan interpretasi suatu hadis.
DAFTAR PUSTAKA
Ali , Nizar., (Ringkasan Desertasi) Kontribusi Imam
Nawawi dalam Penulisan Syarh} Hadis. Yogyakarta, 2007.
________. Memahami Hadis
Nabi (Metode dan Pendekatan). Yogyakarta: Center for Educational Studies
and Development (CESaD) YPI Al-Rahmah, 2001.
Baidan, Nashrudin Metodologi Penafsiran Al-Qur’an.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Hasan, Fuad dan Koentjaraningrat. Beberapa Asas
Metodologi Ilmiah, dalam Koentjaraningrat (ed.), Metode-metode
Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia., 1997.
Joko, Lilik,
Penelitian Matan Hadits Dengan
Pendekatan Hadits Shahih, Al Qur’an, Bahasa dalam http://lilikjoko.wordpress.com/contoh-makalah-penelitian-matan-hadits/ diakses pada 3 November 2010.
Munawwar, Said Agil Husain
al- dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan
Sosio-Historis-Kontekstual,. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Munawwir, A.W. Kamus
Al-Munawwir Arab – Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Mustaqim , Abdul et al., Paradigma
Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami Hadis, Yogyakarta: Penerbit Teras,
2009.
Qaradhawi, Yusuf al-, Bagaimana
Memahami Hadis Nabi saw. terj. Muh. AlBaqir, Bandung: Kharisma, 1993.
________, Pengantar Studi Hadis, terj. Agus Suyadi
Raharusun dan Dede Rodin, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Rahman, Fatchur. Ikhtishar Musthalahul Hadits,
Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1974.
Subandi, Soli. Metode
Pemahaman Hadis dalam http://www.google.co.id/searchbagaimana+metode+pemahaman+hadis
di akses tanggal 20 Januari 2010.
Suryadi,
Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi, Yogyakarta: Penerbi Teras, 2008.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa KBBI. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Cetakan ketiga, edisi III., 2005.
Yunus, Mahmud., Kamus
Arab-Indonesia. Jakarta:
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Penafsir Al-Qur’an, 1973.
[1] Q.S.
An-Najm (53) : 3-4.
[2] Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi,
(Yogyakarta: Penerbit Teras, 2008), hlm.
6 – 7.
[3] Abdul
Mustaqim et. all., Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam
Memahami Hadis, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009),
hlm. 2.
[4] Yusuf
al-Qaradhawi,. Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw. edisi terjemahan
(Bandung: Kharisma, 1993), hlm. 20.
[5]
Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalahul Hadits, (Bandung: PT. Al-Ma’arif,
1974), hlm. 20 – 21.
[6] Ibid.
28.
[7] Said
Agil Husain Munawwar dan Abdul Mustaqim. 2001.
Asbabul Wurud. Yogyakarta: Pustaka Pelajar., hal. 24.
[8]
Metode ini diadopsi dari metode penafsiran Al-Qur’an dengan melihat karakter
persamaan yang terdapat antara penafsiran Al-Qur’an dan penafsiran atau syarh}} hadis.
Artinya metode penafsiran Al-Qur’an dapat diterapkan dalam syarh} h}adis} dengan
mengubah redaksi/kata Al-Qur’an menjadi hadis; tafsir menjadi syarh}. (baca
Nizar Ali. 2001. Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan).
Yogyakarta: Center for Educational Studies and Development (CESaD) YPI
Al-Rahmah., hal. 28.
Dalam studi tafsir telah dijumpai beberapa teori tentang tafsir
Al-Qur’an dengan melihat metode dan corak penafsiran yang dipakai oleh para
ulama tafsir dalam kitab-kitab tafsir. Ada 4 (empat) metoden penafsiran, yaitu:
metode tafsir tah}li>li>
(analitis), metode tafsir ijma>li> (global), metode tafsir muqa>rin
(perbandingan) dan metode tafsir maud}u>i
(tematik). Ibid., hal. 28, atau baca Nashrudin
Baidan. 2000. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
[9] Ibid.,hal. 1
atau baca Fuad Hasan dan Koentjaraningrat. 1997. Beberapa Asas Metodologi
Ilmiah, dalam Koentjaraningrat (ed.), Metode-metode Penelitian
Masyarakat. Jakarta: Gramedia., hal.
16.
[10] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa KBBI. Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka. Cetakan ketiga, edisi III.,
2005), hal. 740.
[12] Dalam buku Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam
Memahami Hadis, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009), hlm. 2, kumpulan
tulisan Abdul Mustaqim dkk., Abdul Mustaqim memberikan istilah pemahaman hadis
dengan istilah “Fiqh al-hadis”.
[13] A.W.
Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab – Indonesia Terlengkap, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), hlm. 707.
[14] Nizar
Ali., Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan). (Yogyakarta: Center
for Educational Studies and Development (CESaD) YPI Al-Rahmah, 2001).,28.
[15] Nizar Ali. 2007. (Ringkasan Desertasi) Kontribusi Imam
Nawawi dalam Penulisan Syarh} Hadis. Yogyakarta., hal. 4.
[16] Yusuf
al-Qaradhawi,. Pengantar Studi Hadis, (Bandung: CV. Pustaka Setia,
1993), hlm. 123 – 127.
[17] Ibid.
hlm. 128 – 133.
[18] Ibid.
hlm. 133 – 134.
[19] Yusuf
al-Qaradhawi, Pengantar Studi Hadis, terj. Agus Suyadi Raharusun dan
Dede Rodin, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 153 – 155. Dapat pula dibaca
Yusuf al-Qaradhawi, Bagaimana
Memahami Hadis Nabi saw. edisi terjemahan (Bandung: Kharisma, 1993), hlm.
92. Lihat juga Suryadi, Metode Kontemporer Memahami
Hadis Nabi, (Yogyakarta: Penerbi Teras, 2008), hlm.135 – 188.
[22] Soli Subandi, Metode Pemahaman Hadis dalam
http://www.google.co.id/search? Bagaimana metode pemahaman +hadits di akses
tanggal 20 Januari 2010.
[24] Said Agil Husin al-Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul
Wurud Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm.13 – 15. Lebih lengkapnya silahkan
dibaca buku tersebut.
Komentar
Posting Komentar